Beranda | Artikel
Dua Pengertian Sifat Kalam Allah Menurut Aqidah Ahlus Sunnah (Bag. 1)
Selasa, 6 Agustus 2019

Di antara sifat Allah Ta’ala yang diyakini dan ditetapkan oleh ahlus sunnah adalah sifat kalam (Maha berbicara). Ahlus sunnah bersepakat (ijma’) untuk menetapkan sifat kalam bagi Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Yang dimaksud dengan sifat kalam adalah bahwa Allah Ta’ala berbicara kapan saja yang Allah kehendaki, dengan bahasa apa saja yang Allah kehendaki, dengan topik apa saja yang Allah kehendaki, dengan siapa saja yang Allah kehendaki dari makhluk-Nya (baik malaikat, rasul-Nya, atau yang lain), serta dengan huruf dan suara yang bisa didengar oleh makhluk-Nya.

Baca Juga: Ternyata Orang Musyrik Zaman Dahulu Lebih Paham Makna Kalimat Tauhid

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat kalam ini telah kami bahas secara cukup detail di tulisan kami sebelumnya [1, 2]. Demikian pula nukilan dari para ulama ahlus sunnah tentang aqidah mereka dalam masalah kalam Allah Ta’ala [3]. Sehingga fokus tulisan kali ini adalah untuk menekankan kembali apa yang dimaksud dengan kalam Allah menurut aqidah ahlus sunnah.

Dua pengertian sifat kalam Allah menurut aqidah ahlus sunnah

Sifat kalam Allah (kalamullah) yang diyakini dan ditetapkan oleh ahlus sunnah mengandung dua pengertian, yaitu:

Pertama, sifat kalam dengan pengertian “sebagai lawan dari bisu”. Allah Ta’ala itu Maha berbicara dalam arti Allah Ta’ala bukan Dzat yang bisu. Allah Ta’ala Maha berbicara sejak dahulu tanpa awal (azali), bukan seperti manusia (makhluk) yang baru bisa berbicara setelah sebelumnya (ketika masih bayi) tidak bisa berbicara. Jadi, Allah Ta’ala Maha berbicara sejak dahulu tanpa awal dan terus-menerus Maha berbicara tanpa akhir.

Dengan kata lain, sifat kalam dengan pengertian semacam ini termasuk sifat dzatiyyah, karena Allah Ta’ala terus-menerus bersifat dengan sifat tersebut sejak dulu tanpa awal (azali) dan seterusnya tanpa akhir (abadi).

Kalam dengan pengertian pertama ini disebut juga dengan “jinsul kalaam” atau “nau’ul kalaam”.

Baca Juga: Apakah Akan Sia-Sia Ibadah Tanpa Tauhid?

Ke dua, sifat berbicara dengan pengertian “sebagai lawan dari diam”. Allah Ta’ala itu Maha berbicara dalam arti tidak diam. Allah Ta’ala berbicara kapan saja Allah Ta’ala kehendaki, dengan bahasa apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki, dengan topik apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki, dan dengan siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki dari makhluk-Nya.

Kapan Allah Ta’ala berbicara dengan Musa ‘alaihis salaam? Yaitu ketika Allah Ta’ala berkehendak untuk berbicara dengan Musa ‘alaihis salaam. Dan sebelum Musa ‘alaihis salaam itu ada, Allah Ta’ala tidak berbicara dengan Musa ‘alaihis salaam. Jadi, kalam Allah Ta’ala dengan pengertian ke dua ini adalah sesuatu yang baru (muhdats), tidak qadim. Karena Allah Ta’ala berbicara dengan topik tertentu (misalnya, berbicara dengan kalimat A) setelah sebelumnya tidak membicarakannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (secara langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia berbicara kepada Musa ‘alaihis salaam dengan isi pembicaraan tertentu ketika Musa alaihis salaam datang pada waktu yang telah ditentukan.

Dengan kata lain, sifat kalam dengan pengertian semacam ini termasuk sifat fi’liyyah, karena perbuatan Allah Ta’ala berupa berbicara tersebut tergantung dengan kehendak (masyi’ah) Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala berkehendak, Allah Ta’ala berbicara. Dan jika Allah Ta’ala tidak berkehendak, maka Allah Ta’ala tidak berbicara.

Kalam dengan pengertian ke dua ini disebut juga dengan “afraadul kalaam” atau “ahaadul kalaam”.

Aqidah ahlus sunnah tentang kalam Allah adalah “qadiimun nau’; haaditsul ahaad”

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa aqidah ahlus sunnah dalam masalah kalam Allah adalah bahwa kalam Allah itu “qadiimun nau’; haaditsul ahaad”.

Yang dimaksud dengan qadiimun nau’ (qadiim artinya dulu tanpa awal; dan nau’ artinya jenis) artinya, Allah Ta’ala itu Maha berbicara dalam arti tidak bisu, dan Allah Ta’ala sejak dahulu tanpa awal itu Maha berbicara. Dan seterusnya tanpa akhir, Allah Ta’ala tidak bisu. Sifat kalam Allah bukanlah sifat yang baru bagi Allah Ta’ala, tidak sebagaimana sifat berbicara makhluk (manusia), yang baru bisa berbicara setelah usia tertentu dan sebelumnya tidak bisa berbicara. Tidak pernah ada suatu fase di mana Allah Ta’ala itu menjadi Dzat yang bisu.

Sehingga dalam aqidah ahlus sunnah terdapat istilah, “Jinsu kalaamillah qaddimun.” (Jenis kalam Allah [yaitu lawan dari bisu] adalah qadiim.]

Sedangkan yang dimaksud dengan haaditsul ahaad (haadits artinya perkara baru; ahaad kurang lebih artinya satuan kalam) adalah masing-masing firman (kalimat) yang diucapkan atau difirmankan oleh Allah Ta’ala adalah perkara yang baru. Karena Allah Ta’ala itu baru berbicara (tidak diam) setelah Allah Ta’ala menghendaki untuk berbicara dengan topik tertentu dan dengan siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki dari makhluk-Nya. Apakah Allah Ta’ala hendak berbicara langsung dengan makhluk-Nya seperti peristiwa dengan Nabi Musa ‘alahis salaam atau melalui perantaraan Jibril ‘alahis salaam, semua tergantung pada kehendak Allah Ta’ala.

Baca Juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat Islam

Untuk memudahkan pembahasan berikutnya, haaditsul ahaad dalam tulisan ini kami terjemahkan dengan “satuan kalam”.

Sehingga dalam aqidah ahlus sunnah terdapat istilah, “Afraadu kalaamillah haditsun.” (Satuan kalam Allah adalah perkara yang baru.) Yang dimaksud dengan “baru” adalah satuan kalam Allah itu dulu tidak ada, sekarang ada, dan setelahnya tidak ada.

Untuk lebih memudahkan pemahaman, kami contohkan dengan firman Allah Ta’ala kepada Musa ‘alahis salaam,

وَإِذْ نَادَىٰ رَبُّكَ مُوسَىٰ أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), “Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. Asy-Syu’ara’ [25]: 10)

Berdasarkan ayat di atas, kapankah Allah Ta’ala mengucapkan kepada Musa (yang artinya), “Datangilah kaum yang zalim itu?”

Allah Ta’ala baru mengatakan (yang artinya) “Datangilah kaum yang zalim itu?” tentu setelah ada Musa. Sebelum ada Musa atau sebelum Musa diciptakan, Allah Ta’ala tidak mengatakannya. Dan setelah itu, Allah Ta’ala pun tidak mengatakannya.

Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Datangilah kaum yang zalim itu?” inilah yang kami maksud dengan afraadul kalaam atau ahaadul kalaam. Dan dalam aqidah ahlus sunnah –sekali lagi- afraadul kalaam (satuan kalam) adalah perkara yang baru (muhdats), tidak qadim.

Contoh lain untuk memudahkan pemahaman haaditsul ahaad adalah firman Allah Ta’ala berupa kitab suci yang diturunkan kepada para Rasul. Yaitu, Allah Ta’ala berfirman dan menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam. Setelah itu, Allah Ta’ala berfirman lagi dan menurunkan kitab Injil kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam. Dan setelah itu, Allah Ta’ala pun berfirman lagi dan menurunkan kitab suci Al-Qur’am kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka firman Allah berupa Taurat, Injil, dan Al-Qur’an masing-masing adalah satuan kalam Allah yang baru Allah Ta’ala firmankan ketika Allah Ta’ala berkehendak.

Baca Juga: Panglima Khalid bin Walid Diganti Karena Kemaslahatan Tauhid

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 2)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنَ الرَّحْمَنِ مُحْدَثٍ إِلَّا كَانُوا عَنْهُ مُعْرِضِينَ

“Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru (maksudnya Al-Qur’an) dari Tuhan yang Maha pemurah, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 5)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi hafidzahullahu Ta’ala berkata,

فقوله “محدث” صريح في حدوث آحاد كلام الله ، ولا يفهم من ذلك أن تحل الحوادث في ذات الرب؛ لأن كلام الله لا يماثل كلام المخلوقين، إنما كلام المخلوقين هو الذي يلزم منه الحدوث في ذواتهم، أما كلام الرب فلا يماثل كلام المخلوقين

“Firman Allah Ta’ala (محدث) (yang baru) tegas menunjukkan bahwa satuan kalam Allah yang Allah Ta’ala firmankan adalah perkara yang baru. Namun tidak dipahami dari hal ini bahwa ada perkara yang baru yang menyatu dalam Dzat Allah Ta’ala. Hal ini karena kalam Allah itu tidak semisal dengan kalam makhluk-Nya. Hanya ucapan makhluk yang berkonsekuensi terjadinya sesuatu yang baru dalam dzat mereka. Adapun kalam Allah, maka tidak semisal dengan kalam makhluk.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 90)

Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)

Baca Juga: Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi hafidzahullahu Ta’ala berkata,

الله -تعالى- أخبر عن سماعه لكلام المجادلة بلفظ الماضي “سمع” وهذا يدل على أن المجادلة والجدال الذي حصل كان قبل نزول الآية. ثم نزلت الآية بعد المجادلة فدل هذا على نزول الآية، وأن الرب تكلم في هذه الآية بعد حصول الحادثة، وهي المجادلة

“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan dengan kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) (سمع) (telah mendengar, pent.). Hal ini menunjukkan bahwa gugatan dan perdebatan tersebut terjadi sebelum turunnya ayat. Kemudian turunlah ayat tersebut setelah gugatan terjadi. Turunnya ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala baru berbicara sebagaimana dalam ayat ini setelah terjadinya sesuatu yang baru, yaitu adanya gugatan.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 90)

Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”.” (QS. Al-A’raf [7]: 11)

Kata “kemudian” menunjukkan adanya urutan kejadian waktu. Maka penciptaan dan pembentukan Adam ‘alaihis salaam itu terjadi terlebih dahulu, barulah Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat (yang artinya), “Sujudlah kamu kepada Adam.”

Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa afraadul kalaam (yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sujudlah kamu kepada Adam”) adalah perkara yang baru. Karena sebelum Adam ‘alaihis salaam diciptakan, Allah Ta’ala tidak memfirmankannya.

Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, hujan turun, maka beliau bersabda,

أَلَمْ تَسْمَعُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: مَا أَنْعَمْتُ عَلَى عِبَادِي مِنْ نِعْمَةٍ إِلَّا أَصْبَحَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ بِهَا كَافِرِينَ، يَقُولُونَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَأَمَّا مَنْ آمَنَ بِي وَحَمِدَنِي عَلَى سُقْيَايَ فَذَاكَ الَّذِي آمَنَ بِي وَكَفَرَ بِالْكَوْكَبِ، وَمَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَاكَ الَّذِي كَفَرَ بِي وَآمَنَ بِالْكَوْكَبِ

“Apakah kalian tidak mendengar perkataan Rabb kalian tadi malam? Dia berfirman, “Tidaklah Aku menganugerahkan suatu nikmat kepada hamba-hamba-Ku. melainkan sebagian mereka ada yang kufur dengan nikmat tersebut. Mereka berkata, “Kami diberi hujan dengan sebab bintang ini dan itu.” Sedangkan orang yang beriman kepada-Ku, dia memuji-Ku karena air yang Aku turunkan, maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang berkata, “Kami diberi hujan dengan sebab bintang ini dan itu” adalah orang yang kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang”.” (HR. Bukhari no. 846, Muslim no. 71, Abu Dawud no. 3906 dan An-Nasa’i no. 1525)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ceritakan firman Allah Ta’ala yang Allah Ta’ala firmankan tadi malam. Artinya, sebelumnya Allah tidak mengatakannya, demikian pula di pagi harinya Allah Ta’ala tidak mengatakannya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sebetulnya banyak sekali, namun kami cukupkan dengan menyebutkan empat ayat dan satu hadits di atas saja.

Baca Juga: Pembagian Tauhid Menjadi Tiga, Ide Siapa?

Kutipan dari perkataan para ulama ahlus sunnah yang menjelaskan dua pengertian sifat kalam ini

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَكَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ عِنْدَ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتِهَا وَهُوَ أَيْضًا يَتَكَلَّمُ بِمَشِيئَتِهِ وَقُدْرَتِهِ عِنْدَهُمْ لَمْ يَزَلْ مُتَكَلِّمًا إذَا شَاءَ فَهُوَ قَدِيمُ النَّوْعِ

“Kalam Allah itu bukan makhluk, menurut para ulama salaf. Allah Ta’ala berbicara sesuai dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Menurut salaf, Allah Ta’ala terus-menerus berbicara jika Allah Ta’ala kehendaki, itulah qadiimun nau’.(Majmu’ Fataawa, 12: 577)

Di kesempatan yang lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan aqidah berbagai kelompok dalam masalah kalam Allah,

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: هُوَ يَقَعُ بِمَشِيئَتِهِ وَقُدْرَتِهِ شَيْئًا فَشَيْئًا لَكِنَّهُ لَمْ يَزَلْ مُتَّصِفًا بِهِ، فَهُوَ حَادِثُ الْآحَادِ قَدِيمُ النَّوْعِ، كَمَا يَقُولُ ذَلِكَ مِنْ يَقُولُهُ مِنْ أَئِمَّةِ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ

“Di antara mereka ada yang mengatakan, kalam Allah itu terjadi karena kehendak dan kekuasaan-Nya, satu demi satu. Meskipun demikian, Allah Ta’ala terus-menerus bersifat dengan sifat kalam. Maka kalam Allah itu haaditsul ahaad, qadiimun nau’. Hal ini sebagaimana perkataan para ulama ahli hadits dan selain mereka dari para ulama madzhab Syafi’i dan Ahmad.” (Majmu’ Fataawa, 12: 577)

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin rahimahullahu Ta’ala berkata,

وعند أهل السنة أن كلام الله قديم النوع، متجدد الآحاد، ومعنى كونه قديم النوع: أن جنسه قديم، فالله تعالى متصف في الأزل بكونه متكلما، فإن الله بجميع صفاته ليس بحادث، ولكنه لا يزال يتجدد ويحدث له كلام إذا شاء، وصفة الكلام من الصفات الفعلية الملازمة للذات متى شاء

“Menurut aqidah ahlus sunnah, kalam Allah itu qadim secara jenis (jinsul kalaam), adapun satuan kalam Allah itu baru. Yang dimaksud dengan qadim secara jenis adalah jenisnya itu qadim, karena Allah Ta’ala memiliki sifat Maha berbicara sejak dahulu tanpa awal. Sesungguhnya Allah Ta’ala dengan seluruh sifat-sifat-Nya bukanlah perkara yang baru. Akan tetapi, berbicaranya Allah Ta’ala itu perkara yang baru, yaitu ketika Allah Ta’ala berkehendak untuk berbicara. Sehingga sifat kalam termasuk sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan Dzat-Nya kapan saja Allah Ta’ala kehendaki.” (At-Ta’liqaat ‘ala Matni Lum’atil I’tiqaad, 1: 89)

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin rahimahullahu Ta’ala juga berkata,

كذلك نقول: الله تعالى متكلم في الأزل ويتكلم إذا شاء، ليس معناه أنه تكلم أزلاً ثم انقطع كلامه، بل كلام الله قديم النوع حادث الآحاد

“Demikian pula kami katakan, Allah Ta’ala Maha berbicara sejak azali, dan Allah Ta’ala berbicara ketika Allah Ta’ala menghendakinya. Bukanlah maknanya bahwa Allah Ta’ala berbicara pada zaman azali, kemudian berhenti berbicara secara total. Akan tetapi, kalam Allah itu qadiimun nau’ haaditsul ahaad.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 11: 19)

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan rahimahullahu Ta’ala berkata,

وكلامُه قديمُ النّوع حادثُ الآحاد، بمعنى: أنّ نوع كلامه سبحانه قديم بقدمه سبحانه، ليس له بداية كسائر أفعاله، وحادث الآحاد بمعنى: أنه يتكلّم إذا شاء سبحانه وتعالى

“Kalam Allah itu qadiimun nau’ dan haaditsul ahaad. Maksudnya, secara jenis, kalam Allah Ta’ala itu qadim sesuai dengan qadimnya Allah Ta’ala, tidak ada awal permulaannya sebagaimana seluruh perbuatan-perbuatan-Nya. Adapun yang dimaksud dengan haadtsul ahaad adalah bahwa Allah Ta’ala itu (baru) berbicara ketika Allah Ta’ala berkehendak.” (I’aanatul Mustafiid, 2: 273)

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Jogjakarta, 11 Ramadhan 1440/16 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/50520-dua-pengertian-sifat-kalam-allah-menurut-aqidah-ahlus-sunnah-bag-1.html